Pages

Senin, 03 Januari 2011

Sejarah Kabupaten Majalengka

Zaman Kerajaan Hindu di Talaga
 

Pemerintahan Batara Gunung Picung
Kerajaan Hindu di Talaga berdiri pada abad XIII Masehi, Raja tersebut masih keturunan Ratu Galuh bertahta di Ciamis, beliau adalah putera V, juga ada hubungan darah dengan raja-raja di Pajajaran atau dikenal dengan Raja Siliwangi. Daerah kekuasaannya meliputi Talaga, Cikijing, Bantarujeg, Lemahsugih, Maja dan sebagian Selatan Majalengka.Pemerintahan Batara Gunung Picung sangat baik, agam yang dipeluk rakyat kerajaan ini adalah agama Hindu. Pada masa pemerintahaannya pembangunan prasarana jalan perekonomian telah dibuat sepanjang lebih 25 Km tepatnya Talaga - Salawangi di daerah Cakrabuana.Bidang Pembangunan lainnya, perbaikan pengairan di Cigowong yang meliputi saluran-saluran pengairan semuanya di daerah Cikijing.Tampuk pemerintahan Batara Gunung Picung berlangsung 2 windu. Raja berputera 6 orang yaitu :- Sunan Cungkilak - Sunan Benda - Sunan Gombang - Ratu Panggongsong Ramahiyang- Prabu Darma Suci- Ratu Mayang KarunaAkhir pemerintahannya kemudian dilanjutkan oleh Prabu Drama Suci.


Lambang Kota Majalengka
Pemerintahan Prabu Darma Suci
Disebut juga Pandita Perabu Darma Suci. Dalam pemerintahan raja ini Agama Hindu berkembang dengan pesat (abad ke-XIII), nama beliau dikenal di Kerajaan Pajajaran, Jawa
Tengah, Jayakarta sampai daerah Sumatera. Dalam seni pantun banyak diceritakan tentang kunjungan tamu-tamu tersebut dari kerajaan tetangga ke Talaga, apakah kunjungan
tamu-tamu merupakan hubungan keluarga saja tidak banyak diketahui.Peninggalan yang masih ada dari kerajaan ini antara lain Benda Perunggu, Gong, Harnas atau Baju Besi.Pada
abad XIIX Masehi beliau wafat dengan meninggalkan 2 orang putera yakni:- Bagawan Garasiang - Sunan Talaga Manggung


Pemerintahan Sunan Talaga Manggung
Tahta untuk sementara dipangku oleh Begawan Garasiang,.namun beliau sangat
mementingkan Kehidupan Kepercayaan sehingga akhirnya tak lama kemudian tahta
diserahkan kepada adiknya Sunan Talaga Manggung.Tak banyak yang diketahui pada masa
pemerintahan raja ini selain kepindahan beliau dari Talaga ke daerah Cihaur Maja.


Pemerintahan Sunan Talaga Manggung
Sunan Talaga Manggung merupakan raja yang terkenal sampai sekarang karena sikap beliau
yang adil dan bijaksana serta perhatian beliau terhadap agama Hindu, pertanian, pengairan,
kerajinan serta kesenian rakyat.Hubungan baik terjalin dengan kerajaan-kerajaan tetangga
maupun kerajaan yang jauh, seperti misalnya dengan Kerajaan Majapahit, Kerajaan
Pajajaran, Kerajaan Cirebon maupun Kerajaan Sriwijaya.Beliau berputera dua, yaitu :- Raden
Pangrurah - Ratu Simbarkencana Raja wafat akibat penikaman yang dilakukan oleh suruhan
Patih Palembang Gunung bernama Centangbarang. Kemudian Palembang Gunung
menggantikan Sunan Talaga Manggung dengan beristrikan Ratu Simbarkencana. Tidak
beberapa lama kemudian Ratu Simbarkencana membunuh Palembang Gunung atas petunjuk
hulubalang Citrasinga dengan tusuk konde sewaktu tidur.Dengan meninggalnya Palembang
Gunung, kemudian Ratu Simbarkencana menikah dengan turunan Panjalu bernama Raden
Kusumalaya Ajar Kutamanggu dan dianugrahi 8 orang putera diantaranya yang terkenal sekali putera pertama Sunan Parung.


Pemerintahan Ratu Simbarkencana
Sekitar awal abad XIV Masehi, dalam tampuk pemerintahannya Agama Islam menyebar ke
daerah-daerah kekuasaannya dibawa oleh para Santri dari Cirebon.juga diketahui bahwa tahta pemerintahan waktu itu dipindahkan ke suatu daerah disebelah Utara Talaga bernama
Walangsuji dekat kampung Buniasih. Ratu Simbarkencana setelah wafat digantikan oleh
puteranya Sunan Parung.


Pemerintahan Sunan Parung
Pemerintahan Sunan Parung tidak lama, hanya beberapa tahun saja.Hal yang penting pada
masa pemerintahannya adalah sudah adanya Perwakilan Pemerintahan yang disebut Dalem,
antara lain ditempatkan di daerah Kulur, Sindangkasih, Jerokaso Maja.Sunan Parung
mempunyai puteri tunggal bernama Ratu Sunyalarang atau Ratu Parung.


Pemerintahan Ratu Sunyalarang
Sebagai puteri tunggal beliau naik tahta menggantikan ayahandanya Sunan Parung dan
menikah dengan turunan putera Prabu Siliwangi bernama Raden Rangga Mantri atau lebih
dikenal dengan Prabu Puck Umum.Pada masa pemerintahannya Agama Islam sudah
berkembang dengan pesat. Banyak rakyatnya yang memeluk aama tersebut hingga akhirnya
baik Ratu Sunyalarang maupun Prabu Pucuk Umum memeluk Agama Islam. Agama Islam
berpengaruh besar ke daerah-daerah kekuasaannya antara lain Maja, Rajagaluh dan
Majalengka.Prabu Pucuk Umum adalah Raja Talaga ke-2 yang memeluk Agama
Islam Hubungan pemerintahan Talaga dengan Cirebon maupun Kerajaan Pajajaran baik sekali. Sebagaimana diketahui Prabu Pucuk Umum adalah keturunan dari prabu Siliwangi karena dalam hal ini ayah beliau yang bernama Raden Munding Sari Ageng merupakan putera dari Prabu Siliwangi. Jadi pernikahan Prabu Pucuk Umum dengan Ratu Sunyalarang merupakan perkawinan keluarga dalam derajat ke-IV.Hal terpenting pada masa pemerintahan Ratu Sunyalarang adalah Talaga menjadi pusat perdagangan di sebelah Selatan.


Pemerintahan Rangga Mantri atau Prabu Pucuk Umum
Dari pernikahan Raden Rangga Mantri dengan Ratu Parung (Ratu Sunyalarang) melahirkan 6
orang putera yaitu :- Prabu Haurkuning - Sunan Wanaperih - Dalem Lumaju Agung- Dalem
Panuntun - Dalem Panaekan Akhir abad XV Masehi, penduduk Majalengka telah beragama
Islam.Beliau sebelum wafat telah menunjuk putera-puteranya untuk memerintah di
daerah-daerah kekuasaannya, seperti halnya :Sunan Wanaperih memegang tampuk
pemerintahan di Walagsuji;Dalem Lumaju Agung di kawasan Maja;Dalem Panuntun di
Majalengka sedangkan putera pertamanya, Prabu Haurkuning, di Talaga yang selang
kemudian di Ciamis. Kelak keturunan beliau banyak yang menjabat sebagai Bupati. Sedangkan dalem Dalem Panaekan dulunya dari Walangsuji kemudian berpindah-pindah menuju Riung Gunung, sukamenak, nunuk Cibodas dan Kulur.Prabu Pucuk Umum dimakamkan di dekat Situ Sangiang Kecamatan Talaga.


Pemerintahan Sunan Wanaperih
Terkenal Sunan Wanaperih, di Talaga sebagai seorang Raja yang memeluk Agama Islam pun
juga seluruh rakyat di negeri ini semua telah memeluk Agama Islam.Beliau berputera 6 orang, yaitu :- Dalem Cageur - Dalem Kulanata - Apun Surawijaya atau Sunan Kidul- Ratu Radeya - Ratu Putri - Dalem Wangsa GoparanaDiceritakan bahwa Ratu Radeya menikah dengan Arya Sarngsingan sedangkan Ratu Putri menikah dengan putra Syech Abu Muchyi dari Pamijahan bernama Sayid Ibrahim Cipager.Dalem Wangsa Goparana pindah ke Sagalaherang Cianjur, kelak keturunan beliau ada yang menjabat sebagai bupati seperti Bupati Wiratanudatar I di Cikundul. Sunan Wanaperih memerintah di Walangsuji, tetapi beliau digantikan oleh puteranya Apun Surawijaya, maka pusat pemerintahan kembali ke Talaga. Putera Apun Surawijaya bernama Pangeran Ciburuy atau disebut juga Sunan Ciburuy atau dikenal juga dengan sebutan Pangeran Surawijaya menikah dengan putri Cirebon bernma Ratu Raja Kertadiningrat saudara dari Panembahan Sultan Sepuh III Cirebon.Pangeran Surawijaya dianungrahi 6 orang anak yaitu - Dipati Suwarga-Mangunjaya - Jaya Wirya - Dipati Kusumayuda - Mangun Nagara - Ratu Tilarnagara Ratu Tilarnagara menikah dengan Bupati Panjalu ( Kerajaan Panjalu Ciamis) yang bernama Pangeran Arya Sacanata yang masih keturunan Prabu Haur Kuning. Pengganti Pangeran Surawijaya ialah Dipati Suwarga menikah dengan Putri Nunuk dan berputera 2 orang, yaitu :- Pangeran Dipati
Wiranata- Pangeran Secadilaga atau pangeran RajiPangeran Surawijaya wafat dan digantikan
oleh Pangeran Dipati Wiranata dan setelah itu diteruskan oleh puteranya Pangeran
SecanataEyang Raga Sari yang menikah dengan Ratu Cirebon mengantikan Pangeran
Secanata. Arya Secanata memerintah ± tahun 1962; pengaruh V.O.C. sudah terasa sekali.
Alun-alun Majalengka
Hingga pada tahun-tahun tersebut pemerintahan di Talaga diharuskan pindah oleh V.O.C. ke Majalengka. Karena hal inilah terjadi penolakan sehingga terjadi perlawanan dari rakyat Talaga.Peninggalan masa tersebut masih terdapat di museum Talaga berupa pistol dan meriam.



Kerajaan Hindu Terakhir di Majalengka
Sekitar tahun 1480 (pertengahan abad XV) Masehi di Desa Sindangkasih 3 Km dari kota Majalengka ke selatan, bersemayam Ratu bernama Nyi Rambut Kasih keturunan Prabu Siliwangi, yang masih teguh memeluk Agama Hindu.
Ratu masih bersaudara dengan Rarasantang, Kiansantang dan Walangsungsang, kesemuanya telah masuk agama Islam. Adanya ratu di daerah Majalengka adalah bermula untuk menemui saudaranya di daerah Talaga bernama Raden Munding Sariageng suami dari Ratu Mayang Karuna yang waktu itu memerintah di Talaga. Di perbatasan Majalengka – Talaga, ratu mendengar bahwa daerah tersebut sudah masuk Islam. Sehingga mengurungkan maksudnya dan menetaplah Ratu tersebut di Sindangkasih, dengan daerahnya meliputi Sindangkasih, Kulur, Kawunghilir, Cieurih, Cicenang, Cigasong, Babakanjawa, Munjul dan Cijati.
Pemerintahannya sangat baik, terutama masalah Pertanian diperhatikannya juga Pengairan dari Beledug-Cicuruj-Munjul dibuatnya secara teratur. Kira-kira tahun 1485 putera Raden Rangga Mantri yang bernama Dalem Panungtung diperintahkan menjadi Dalem di Majalengka, yang mana membawa akibat pemerintahan Nyi Rambut Kasih terjepit oleh pengaruh Agama Islam.
Kemudian lagi pada tahun 1489 utusan Cirebon, Pangeran Muhammad dan isterinya Siti Armilah atau Gedeng Badori diperintahkan untuk mendatangi Nyi Rambut kasih dengan maksud agar Ratu maupun Kerajaan Sindangkasih masuk Islam dan Kerajaan Sindangkasih masuk kawasan ke Sultanan Cirebon. Nyi Rambut Kasih menolak, timbul pertempuran antara pasukan Sindangkasih dengan pasukan Kesultanan Cirebon. Kerajaan Sindangkasih menyerah dan masuk Islam sedangkan Nyi Rambut kasih tetap memeluk agama Hindu. Mulai saat inilah ada Candra Sangkala Sindangkasih Sugih Mukti tahun 1490.
Abad XVI Agama Islam Masuk Daerah Majalengka
Daerah-daerah yang masuk Daerah Kesultanan Cirebon, dan telah semuanya memeluk Agama Islam ialah Pemerintah Talaga, Maja, Majalengka. Penyebaran agama Islam di daerah Majalengka terutama didahului dengan masuknya para Bupati kepada agama itu. Kemudian dibantu oleh penyebar-penyebar lain antaranya: Dalem Sukahurang atau Syech Abdul Jalil dan Dalem Penuntun Semua di Maja. Pangeran Suwarga di Talaga yang lainnya Pangeran Muhammad, Siti Armilah, Nyai Mas Lintangsari, Wiranggalaksana, Salamuddin, Putera Eyang Tirta, Nursalim, RH Brawinata, Ibrahim, Pangeran Karawelang, Pangeran Jakarta, Sunan Rachmat di Bantarujeg dan masih banyak lagi.
Tahun 1650 Majalengka masuk pengaruh Mataram karena Cirebon telah menjadi kekuasaan Mataram. Waktu itu Cirebon dipegang oleh Panembahan Ratu II atau Sunan Girilaya.
Pengaruh Sultan Agung Mataram Abad XVII
Tahun 1628 Tumenggung Bahureksa diperintahkan oleh Sultan Agung untuk menyerang Batavia. Dengan bantuan pasukan-pasukan dari daerah-daerah manapun masalah logistiknya, juga pendirian logi-logi banyak didirikan di Jatiwangi, Jatitujuh dan Ligung.
Besar pengaruhnya Mataram terhadap daerah Majalengka, dimana pula banyak orang Mataram yang tidak sempat lagi ke asalnya, dan akhirnya menetap di Majalengka.
Abad ke-XVII merupakan juga bagian dari pada peristiwa pertempuran Rangga Gempol yang berusaha membendung pasukan Mataram ke wilayah Priangan. Hal ini perlu diketahui bahwa wilayah Priangan akan diserahkan kepada V.O.C. (tahun 1677). Pasukan Rangga Gempol mundur ke Indramayu dan Majalengka. Hubungan sejarah Sumedang yang menyatakan bahwa Geusan Ulun merupakan penurun para Bupati Sumedang. Majalengka waktu itu masuk kekuasaan Sunan Girilaya, katanya menyerahkan daerah Majalengka kepada Sunan tersebut sebagai pengganti Putri Harisbaya yang dibawa lari dari Keraton Cirebon ke Sumedang. Tahun 1684 Cirebon diserahkan Mataram kepada V.O.C. maka otomatis Majalengka masuk Daerah V.O.C.
Masa Penjajahan Belanda dan Penghapusan Kekuasaan Bupati Abad XVIII
Tahun 1705, seluruh Jawa Barat masuk kekuasaan Hindia Belanda, pada tahun 1706 pemerintah kolonial menetapkan Pangeran Aria Cirebon sebagai Gubernur untuk seluruh Priangan. Olehnya para Bupati diberikan wewenang untuk mengambil pajak dari rakyat, termasuk Majalengka bagi kepentingan upeti kepada pemerintah Belanda. Paksaan penanaman kopi di daerah Maja, Rajagaluh, Lemahsugih berakibat banyak rakyat jatuh kelaparan.
Majalengka pada Abad XIX
Tidak saja tanam paksa kopi, Pemerintah Hindia Belanda pun memaksa rakyat untuk menanam lada, tebu dan lain-lain tanaman yang laku di pasaran Eropa untuk pemerintah Kolonial tersebut. Berakibat fatal bertambah berat beban rakyat, sengsara maupun kelaparan terjadi dimana-mana.
Tahun 1805 pemberontakan Bagus Rangin dari Bantarjati menentang Belanda, pertempuran pecah dengan sengitnya di daerah Pangumbahan. Kekuatan 10.000 orang dan terpaksa mengakui keunggulan Belanda.±Bagus Rangin 12 Juli 1812 sebagai Pahlawan Bagus Rangin menerima hukuman penggal kepala di Kali Cimanuk dekat Karangsambung. Waktu itu Gubernur Hindia Belanda Henrck Wiesel (tahun 1804-1808) kemudian dilanjutkan Herman Willem Daendels (tahun 1808-1811) dan tahun 1811-1816 kemudian Thomas ST, Raffles.
Pemerintah Baru di Majalengka
Dengan bisluit Gubernur Jendral tanggal 5 Januari tahun 1819 berdirilah Keresidenan Cirebon dengan Kabupaten Cirebon, Raja Cola, Bangawan Wetan, Maja dan Kuningan. Selanjutnya Kabupaten Maja atau Kabupaten Sindangkasih menjadi Kabupaten Majalengka.
Kabupaten Majalengka sejak tahun 1819 sampai sekarang (tahun 2002) telah mengalami 22 kali masa pemerintahan yang dipimpin oleh Bupati/Kepala Daerah.
RIWAYAT MAJALENGKA SEPANJANG CERITERA
Di bawah ini diutarakan secara singkat beberapa ceritera tentang riwayat asal mula terjadinya “Majalengka”, pendirinya, serta makna atau kata “Majalengka” itu sendiri.
Arti kata dari sesuatu nama tempat atau orang, bagi orang barat adalah dipandang tidak penting. Meraka lazim mengatakan “What is an name”. Tetapi orang timur nama bukan sekedar nama. Nama dipandang memiliki arti, dasar dan tujuan tertentu.
Bung Karno Presiden Republik Indonesia pernah mengatakan: “In a name is everythings” dalam warna bersemayam aneka warna dan benda. Demikian pula “Majalengka” sebagai suatu nama dari suatu Daerah, sesuatu tempat, atau sesuatu kota. Nenek moyang atau para leluhur tidak akan demikian saja memberi nama tanpa dasar yang mendalam dan tanpa tujuan tertentu yang luhur bagi kelanjutan keturunannya.
Bagi orang timur tentang nama mempunyai “Latar Belakang” yang khas demikian pula dengan “Majalengka” itu.
POHON “MAJA” JADI “LANTARAN”
Alkisah diceritakan, bahwa kira-kira pada abad ke 15 Masehi berdirilah suatu kerajaan Hindu yang disebut SINDANGKASIH (kini hanya sebuah desa terlatak di sebelah tenggara ibu kota Majalengka jarak 3 Km di luar kota).
Kerajaan itu diperintah oleh seorang ratu cantik molek dan sangat sakti serta fanatik terhadap agama yang dipeluknya. Dari mana asalnya ratu itu tidak diceritakan. Namanya ialah RATU NYI RAMBUTKASIH (setegah orang mengatakan NYI AMBET KASIH). Berkat pemimpin ratu yang bijaksana dan sakti itu, maka kerajaan Sindangkasih menjadi suatu daerah yang aman-makmur, gemah-ripah loh-jinawi, tata-tentrem kertaraharja.
Rakyatnya hidup tentram damai dan aman sentosa, “rea ketan rea keton”. Demikian sejahtera dan bahagianya sehingga Sidangkasih dapat gelar Sugih Mukti yang berarti “karya serta Bahagia”.
Pengidupan rakyatnya sendiri dari bercocok tanam, terutama padi, sedang pakaiannya menenun sendiri dari hasil kapas tanamannya. Di lembah-lembah sungai subur ditanami tebu yang dibuat gula merah disamping gula dari pohon aren. Sebagian daerahnya terdiri dari hutan rimba yang membujur ke arah utara dan selatan. Konon kabarnya dalam hutan itu bukan pohon kayu jati yang banyak, akan tetapi penuh dengan pohon maja. Batangnya lurus-lurus dan tinggi-tinggi, tetapi daunnya kecil-kecil dan pahit mempunyai khasiat untuk mengobati penyakit demam. Buahnya mirip buah “Kawista”, tetapi kulitnya agak lunak, isinya kalu serasa dengan ubi jalar jenis “nikrum” yang dibakar (“dibubuy” Sunda).
Sementara itu antara 1552 – 1570 Cirebon telah diperintah oleh seorang Guru Besar Islam yaitu wali bernama SYARIF HIDAYATULLAH atau SUNAN GUNUNG JATI. Konon Cirebon pernah terserang penyakit demam yang sangat hebat dan banyak korban. Sunan Gunung Jati karena seorang Wali yang agung selalu waspada, telah mengutus puteranya yang bernama PANGERAN MUHAMMAD untuk pergi mencari pohon maja ke daerah Sindangkasih guna ramuan obat penyembuh bagi rakyatnya, sekaligus dalam rangka tugas menyebarkan agama Islam.
Pangeran Muhammad berangkat menuju Sindangkasih disertai isterinya bernama NYI SITI ARMILAH yang berasal dari Demak/Mataram yang diserahi pula tugas untuk membantu suaminya dan ikut menyebarkan agama Islam.
Nyi Rambutkasih sebagai ratu Sindangkasih yang “waspada permana tingal” telah mengetahui akan kedatangan utusan Sunan Gunung Jati itu.
Hatinya tidak ikhlas daerahnya diinjak oleh orang lain yang memeluk agama Islam. Konon kabarnya sebelum Pangeran Muhammad bertemu dengan Ratu Sindangkasih, hutan Sindangkasih yang asal mulanya penuh dengan pohon maja itu, telah “dicipta” berganti rupa, beralih menjadi raya yang sangat lebat tanpa sebatang pun masih tumbuh pohon maja yang berkhasiat itu.
Pangeran Muhammad beserta isterinya alangkah kecewa dan terkejutnya demi diketahuinya ketika tiba di Sindangkasih itu, pohon maja yang diperlukannya sudah tidak ada lagi. Maka pada saat itu dari Pangeran Muhammad keluarlah ucapan “Maja Langka” (bahasa jawa) artinya “Maja tidak ada”.
Dengan peristiwa itu, Pangeran Muhammad sangat perihatin dan berniat akan kembali ke Cirebon, sebelum maksudnya berhasil. Untuk itu Pangeran Muhammad pergi bertapa di kaki gunung sampai wafatnya, dan gunung itu kini bernama “Margatapa”.
Sebelum pergi bertapa, Pangeran Muhammad memberi amanat kepada isterinya (Nyi Siti Armilah), untuk terus berusaha menemukan pohon maja itu dan berusaha menaklukan Nyi Rambutkasih agar memeluk agama Islam.
Pada suatu ketika Nyi Siti Armilah, dapat bertemu dengan Nyi Rambutkasih, suatu pertemuan antara seorang pemeluk dan penyebar agama Islam dengan seorang pemeluk dan fanatik terhadap agama Hindu.
Nyi Rambutkasih tidak dapat menerima ajakan dan ajaran Nyi Siti Armilah untuk memeluk agama Islam. Nyi Siti Armilah berusaha keras untuk menginsafkan Nyi Rambutkasih sampai-sampai pada kalimat:
“Manusia itu pasti mati, kembali ke alam baqa, hidup di dunia ini ada batasnya”.
Nyi Rambutkasih dengan tegas membalas: “Aku seorang Ratu pelindung rakyat yang berkelakuan jujur dan baik, sebaliknya aku adalah Ratu yang tak pernah ragu-ragu untuk menghukum rakyatnya yang bertindak curang dan buruk. Dan karena itu aku tak akan mati dan tidak mau mati”.
“jika demikian halnya” jawaban Nyi Siti Armilah, “makhluk apakah gerangan namanya, yang tidak akan mati dan tidak mau mati ?”.
bersama dengan ucapan Nyi Siti Armilah ini, lenyaplah “diri (jasad) Nyi Rambutkasih Ratu Sindangkasih itu dari dunia fana ini tanpa meninggalkan bekas kuburannya (“ngahiang” Sunda).
Orang sekarang hanya mendapatkan beberapa “patilasan” bekas-bekas Nyi Rambutkasih semasa memerintah yang sampai sekarang masih dianggap “angker” seperti sumur “Sindangkasih”, sumur “Sunjaya”, sumur “Ciasih” dan batu-batu bekas bertapa yang terdapat dalam kota dan sekitarnya.
Nyi Siti Armilah selanjutnya terus menetap di Kerajaan Sindangkasih ini menyebarkan agama Islam sampai wafat dan jenzahnya dimakamkan dipinggir kali Citangkurak, dimana tumbuh pohon “BADORI” sesuai dengan amanatnya, dimana konon ditegaskan, bahwa dekat kuburannya itu dikemudian hari akan menjadi tempat tinggal Penguasa yang memerintah Majalengka, yang mengatur pemerintahan daerah maja yang langka itu.
Demikian makam Nyi Siti Armilah terletak dibelakang gedung Kabupaten Majalengka yang sekarang dan orang sering menamakan Embah Gendeng Badori.
Setelah peristiwa Nyi Rambutkasih “ngahiang” itu, maka banyak penyebar-penyebar agama Islam dari Daerah Cirebon dan Mataram datang ke daerah Kerajaan Sindangkasih yang telah berganti nama jadi Majalengka itu.
Yang terpenting diantaranya ialah: Embah Haji Salamodin, berasal dari Mataram yang diutus oleh Sunan Gunung Jati supaya menyebarkan agama Islam dan mendirikan Pesantren. Tempatnya di Babakanjawa dan dimakamkan di sini, Putera Sultan Agung, berasal dari Mataram salah seorang murid Sunan Gunung Jati yang mendapat gelar Dalem Panungtun/Panungtung, karena pada ketika itu berakhirlah riwayat Budha di Majalengka, dan karena beliaulah yang menuntunnya ke ajaran agama Islam. Dimakamkan di Girilawungan, Embah Wiranggalaksana, berasal dari Tubang dimakamkan di Samojaopat, Majalengka-kulon.
Ceritera “ngahiangnya” Nyi Rambutkasih ini demikian mendalamnya sehingga merupakan “legenda” bagi rakyat asli Majalengka, dan terhadap kesaktiannya seta “masih adanya” itu merupakan suatu mythos, suatu kepercayaan yang masih melekat dengan kuatnya.
Hal ini disebabkan karena sering terjadinya ada orang-orang yang “kawenehan” yaitu bertemu dengan mendadak tanpa diketahui lebih dahulu dari mana datangnya dan tidak mengenal sebelumnya dengan ujud seorang Wanita di malam hari yang menamakan dirinya Nyi Rambutkasih. Adakalanya orang-orang menjadi kesasar atau gila, atau sakit dan sebagainya. Yang menurut kepercayaan karena diganggu oleh roh Nyi Rambutkasih itu.
Dibalik itu, rakyat Majalengka mempunyai kepercayaan yang amat kuat, bahwa selama Nyi Rambutkasih “ngageugeuh” Majalengka, dan orang-orangnya tetap berlaku baik dan jujur maka Sindangkasih Sugih Mukti itu pasti akan teralami pula pada waktu-waktu yang mendatang. Kebalikannya jika tidak, maka Nyi Rambutkasih akan murka dan akan menimbulkan malapetaka. Wallohu, alam bisawab.
INGAT AKAN ASAL PERMULAN PENCEGAH PERANG SAUDARA
Menurut ceritera, pada waktu Kerajaan Galuh masih menganut agama Budha, konon putera Raja yang tertua telah masuk Islam dan menjadi murid Sunan Gunung Jati Cirebon. Putera Galuh itu menurut riwayat namanya SUNAN UNDUNG, telah diutus oleh Sunan Gunung Jati untuk menyebarkan agama Islam ke jurusan barat daya.
Diantara tugas itu telah termasuk kewajiban mengajak adiknya dikerajaan Galuh yang masih saja memeluk agama Budha.
Kedua saudara yang masing-masing berlainan agama itu telah bertemu di suatu tempat yang agak tinggi menyerupai gunung yang terletak di daerah hutan Sindangkasih yang kini disebut orang GIRILAWUNGAN yang berarti gunung tempat bertemu dan berhadapan-hadapan.
Putera Galuh itu masing-masing mempertahankan keyakinan akan kebenaran agama yang dipeluknya, sehingga pertarungan yang bagaimanakah kenyataannya? Tengah kedua saudara itu bertengkar, maka tiba-tiba mereka akan ingat akan “purwadaksina” ingat kepada asal permulaannya, bahwa mereka itu kedua-duanya adalah saudara, dan ingat akan adanya hubungan bathin kekeluargaan dan keturunan yang menjadikan mereka. Setelah mereka berdua ingat akan hal itu, maka perang saudara yang akan meletus itu, tidak sampai terjadi, kedua-duanya kembali damai. Mereka sadar tak ada manfaatnya mempertengkarkan agama.
Sambil berpisah mereka mengeluarkan kata-kata media lengka artinya “ditengah-tengah eling kepada asal permulaan”.
Demikian “madia-lengka” berubah dibunyikan menjadi Majalengka.
Wallahualam.
“”LANGKAH” SITI ARMILAH
Pada saat Pangeran Muhammad beserta isterinya Nyi Siti Armilah melaksanakan amanat Sunan Gunung Jati untuk mencari pohon maja di kerajaan Sindangkasih dan mengajak Nyi Ratu Rambutkasih untuk memeluk agama Islam, maka sebagian orang menceriterakan asal mula terjadinya Majalengka itu agak berlainan.
Pangeran Muhammad dan Siti Armilah telah sampai di daerah Hutan Sindangkasih yang penuh dengan pohon maja. Tempat mereka mula-mula menemukan pohon itu terletak di suatu daerah pegunungan yang sekarang disebut maja (ibukota kecamatan Maja). Nyi Siti Armilah mendapat amanat suaminya untuk langsung menundukkan Nyi Ratu Rambutkasih yang bertahta di Sindangkasih agar berganti memeluk agama Islam.
Untuk memudahkan perjalanan menempuh hutan rimba itu, Nyi Siti Armilah diberi ayam jantan oleh suaminya. Konon ayam jantan itu namanya Si Jalak Harupat. Kemana ayam jantan itu pergi, harus diikuti jejaknya sampai nanti berkokok.
Kokok ayam tadi akan menandakan bahwa tempat yang akan dituju telah tercapai. Demikianlah si Jalak Harupat dilepaskan dan jejaknya diikuti dengan langkah-langkah Nyi Siti Armilah. Akhirnya si Jalak Harupat berkokok tepat di stuatu tempat yang dituju yaitu tempat yang sekarang menjadi kota Majalengka.
Pada saat itulah Siti Armilah menamakan tempat yag dituju bukan Sindangkasih tetapi “Maja alengka” sebagai peringatan baginya yang mula-mula dari “maja melangkahkan kakinya sampai ditempat yang ditujunya”. Wallahualam.
ANTARA “ADA DAN TIADA”
Ada pula ceritera orang yang meriwayatkan terjadinya Majalengka itu lain lagi. Pengaruh kekuasaan Sultan Agung Mataram ternyata meluas ke arah barat, maksudnya pulau Jawa sebelah barat. Tersebutlah seorang Sunan Jebug yang tidak mau tunduk kepada kekuasaan Mataram ia tetap mempertahankan daerahnya (daerah Majalengka sekarang) bebas dari penguasaan Sultan Agung Mataram yang mengakibatkan timbulnya amarah Sultan. Sultan Agung Mataram segera mengirimkan 40 orang hulu balang merebut daerah Sunan Jebug melihat gelagat yang tidak enak ini Sunan Jebug bersepakat dengan senopatinya yang bernama Endang Capang untuk menghindari pertempuran dan pertumpahan darah.
Sebelum 40 orang hulu balang datang dari Mataram tiba di daerahnya, maka Sunan Jebug dan Endang Capang bersembunyi dan hanya meninggalkan patilasan saja. Begitulah ketika pasukan Hulubalang Mataram tiba di daerah ini maka tak seorang pun yang dapat menemukan dimana Sunan Jebug dan Senopati Endang Capang bersembunyi. Akhirnya seorang diantara hulubalang itu berseru: “Madia Langka”. Antara ada dan tiada. Dikatakan tiada memang tidak sampai ditemukan, dikatakan ada karena ada patilasan berkas-berkasnya. Demikianlah dari Madia Langka berubah menjadi Majalengka. Wallahualam.
NEGARA “TENGAH”
Pihak lain tidak mengutarakan asal mula terjadinya Majalengka. Tetapi hanya mengupas kata Majalengka setelah meninjau dari segi-segi tertentu. Rakyat pulau Jawa umumnya mengetahui bahwa dahulu kala orang menyebut “Buana Panca Tengah” yang dimaksudkan ialah Indonesia sekarang khususnya Pulau Jawa. Dihubungkannya dengan ceritera Ramayana dan Kerajaan Alengka yang diartikan “Negara”. Adapun “maja” diartikan “madia” bukan nama pohon tetapi “tengah”. Kenyataan “tengah” itu ditinjau dari segi-segi: Ilmu Bumi, letak daerah Majalengka ini di tengah-tengah antara pegunungan dan pedataran, Pemerintahan, terletak di tengah-tengah kekuasaan Islam (Cirebon/Mataram) dan Hindu/Budha (Galuh-Pajajaran), Ilmu Bangsa-Bangsa, rakyat daerah ini berada di tengah-tengah suku Jawa dan suku Sunda, Kebudayaan, Kebudayaannya sebagian pengaruh kebudayaan Jawa, lainnya kebudayaan Sunda.
Demikian katanya, Majalengka adalah “Negara Tengah”, dalam segala hal termasuk golongan “pertengahan”, tidak pernah menonjol dan meninggi luar biasa, dan sebaliknya pula belum pernah ketinggalan dan menurun sampai paling terbelakang. Dalam segala hal selalu “siger-tengah”.
Sesungguhnya masih terdapat beberapa buah lagi ceritera-ceritera yang meriwayatkan terjadinya Majalengka, demikian pula kupasan-kupasan mengenai tafsiran arti kata Majalengka dan nama-nama pendirinya pun berbeda-beda. Bolehlah mempercayainya, dan tiada larangan untuk menolaknya. Tetapi tiada perlu untuk dijadikan bahan pertengkaran, karena selama riwayat aslinya belum diketemukan dan diketahui umum, semua itu hanya sekedar pembantu sekedar panawar bagi mereka yang ingin mengetahui riwayat nama daerah tempat tumpah darahnya, sebelum memaklumi yang sebenarnya.
Dari ringkasan-ringkasan riwayat yang berbeda-beda itu dapat dikatakan bahwa, “Majalengka” adalah nama yang diwariskan nenek moyang sejak ratusan tahun yang lalu.
Suatu nama yang diberikan untuk menandai suatu daerah yang mengandung nilai-nilai lahir dan nilai-nilai bathin.
Begitu pula halnya dengan Sindangkasih yang mempunyai riwayat lebih luas daripada Majalengka, kedua macam nilai dan unsur lahir dan batin-pun dimilikinya.
Unsur lahir menunjukkan, sejak dulu kala, daerah ini memang masyhur akan kesuburan tanahnya dan kemakmuran rakyatnya.
Unsur batin menyatakan, bahwa nenek moyang pun adalah orang-orang yang memeluk agama menurut zamannya serta keyakinannya. Dalam mempertahankan keyakinan, ditempuhnya jalan yang bijaksana, menghindari perang saudara antara sesama ummat manusia.
Terletaklah tugas dan kewajiban di pundak para keturunannya untuk memelihara warisan nenek moyang ini dengan sebaik mungkin, agar supaya daerah ini dengan modal unsur lahir batin tadi dapat memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat umumnya, sehingga dapat merasakan nikmatnya hidup bahagia dan sentosa dengan meratakan keadilan dan kemakmuran yang turun-temurun.

sumber : Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Majalengka

LEGENDA KELURAHAN CIKASARUNG

Di sebelah utara kota Majalengka, sekitar kurang lebih  2,5 Km dari pusat kota Kabupaten setelah melewati pasir Malati dan sungai Cideres ada sebuah kelurahan bernama Cikasarung. Kelurahan Cikasarung termasuk dalam wilayah Kecamatan Majalengka dan merupakan perbatasan sebelah utara dengan Kecamatan Dawuan. Jumlah penduduk  Kelurahan Cikasarung saat ini 2885 jiwa dengan mayoritas penduduk bermata pencaharian sebagai petani. Sebagai sebuah desa / kelurahan, Cikasarung bersifat homogen, hal ini menjadikan interaksi antar warganya begitu akrab-bersahabat penuh rasa kekeluargaan.

Lajimnya sebuah kawasan pemukiman di daerah Pasundan penggunaan kata ‘ci’ yang diambil dari kata cai  yang berarti air mengandung makna bahwa tempat tersebut subur  dengan terdapatnya sumber-sumber air yang melimpah yang ditenggarai dengan adanya satu atau ada beberapa sungai di tempat tersebut

Di Kelurahan Cikasarung ada sungai yang mana dari nama sungai tersebut lah nama Cikasarung diambil.Sungai Cikasarung berhulu di sebelah Tenggara Kelurahan mengalir sampai desa Karangsambung Kecamatan Kadipaten dan bermuara di sungai Cilutung.

Di antara nama-nama desa/kelurahan yang berada di Kabupaten Majalengka bahkan di Jawa Barat sekalipun,mungkin nama Cikasarung-lah yang terasa asing dan mungkin juga unik di telinga orang-orang yang mendengarnya. Hal tersebut bisa dilihat dari ekspresi orang-orang yang selalu tersenyum ketika nama Cikasarung disebut. Rata-rata mereka beranggapan nama itu diambil dari kata ‘sarung’ dengan mengartikannya ‘cai dina sarung’ ( air di dalam kain sarung ). Atau ada juga yang menghubungkannya dengan cerita rakyat Lutung Kasarung. Namun menurut sesepuh desa nama Cikasarung itu diambil dari nama sungai yang  mengalir melingkari blok  desa. Nama Cikasarung sendiri diambil dari dua kata yaitu: cai dan kasarung.

Menurut para sesepuh desa, asal muasal keberadaan Kelurahan Cikasarung tidak bisa dilepaskan dengan sejarah Kerajaan Islam Mataram di Jawa Tengah. Pada masa Mataram diperintah oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo, Mataram berniat merebut Jayakarta yang pada waktu itu bernama Batavia dari tangan penjajah Belanda. Untuk menyukseskan penyerangan tersebut diperlukan perencanaan yang matang dan jitu. Melihat  jarak Mataram-Batavia yang begitu jauh  maka sang Sultan memperhitungkan bahwa masalah logistik atau bahan pangan akan menjadi kendala terbesar yang akan dihadapi oleh pasukan Mataram. Untuk mengatasi hal tersebut Sultan memutuskan untuk mengirim secara rahasia para prajurit yang mempunyai keahliaan bercocok tanam guna membuka lahan – lahan pertanian di sepanjang jalur yang akan di lewati  yaitu di sekitar jalur pantai utara Jawa Barat sekarang ini. Tugas pokok prajurit – prajurit tersebut adalah membuat lumbung-lumbung padi untuk mensuplai kebutuhan  logistik pasukan.

Diceritakan lima orang prajurit Mataram sampai ke sebuah tempat di kawasan Kelurahan Cikasarung saat ini. Di tempat tersebut hanya terdapat beberapa keluarga petani yang sederhana dengan seseorang yang dianggap sebagai sesepuh mereka, tepatnya tempat itu masih berupa babakan bukan kampung apalagi desa. Seperti layaknya orang pedesaan  warga Babakan itu menyambut kedatangan kelima tamu tak dikenal itu dengan ramah, mereka berkumpul di rumah sesepuh bercengkrama penuh keakraban.
“ Jadi apa maksud ki sanak berlima  datang ke sini ?” Tanya sesepuh  setelah orang-orang pulang ke rumahnya masing-masing,  saat suasana mulai tenang.
“ Sebab saya  lihat dari sikap dan penampilan ki sanak bukan para pengembara sembarangan yang kesasar tanpa arah dan tujuan,” lanjutnya lagi.
Kelima prajurit itu saling pandang satu sama lainnya, kemudian keempat orang dari mereka menganggukan kepala kepada seseorang yang menjadi juru bicara, rupanya orang itu adalah pemimpin diantara mereka berlima.
“ Melihat keramahan dan keikhlasan hati menyambut kami berempat, baiklah saya akan menerangkan siapa kami sebenarnya. Kami yakin Aki cukup bijak untuk menyimpan rahasia ini.“ lantas pimpinan itu menceritakan semuanya.

“ Begitulah Ki ceritanya.” Ucap pimpinan prajurit itu.
“ O, begitu. Jadi raden – raden ini  prajurit Mataram.”
“ Jangan panggil kami raden, toh kami hanya prajurit biasa dan lagipula kami sampai ke Babakan ini bisa juga disebut nyasar karena tujuan kami sebenarya adalah jalur pantai Utara Jawa.
“ Baiklah kalau begitu saya pribadi sangat mendukung perjuangan Sultan untuk merebut Batavia. Sebagai bentuk dukungan, Saya akan mengganjar kalian dengan lahan sebelah Timur Babakan ini  untuk digarap menjadi ladang atau sawah.”
“ Ooh… terima kasih sekali, Ki.”  Jawab mereka berlima serempak.
“ Orang – orang Babakan ini penuh  dengan rasa welas asih ini memang Babakan Asih !   “ Seru pimpinan prajurit kegirangan.

Sejak saat itu Babakan tersebut disebut blok Babakan Asih karena orang – orang di Babakan  itu mempunyai  sifat  welas asih yang tinggi. Sedangkan kelima prajurit Mataram  disebut sebagai Balaganjar diambil dari kata  Balad dan Ganjar   yang artinya : Orang – orang  atau kelompok yang diganjar – diberi  anugrah - , dan tempat mukim merekapun disebut blok Balaganjar.

Setelah itu kelima prajurit Mataram yang memang ahli dalam bertani menggarap lahan yang diberikan sesepuh Babakan Asih. Kendala pertama yang mereka temui adalah susahnya mencari sumber air untuk mengairi lahan mereka, karena letak lahan pertanian yang akan mereka garap lebih tinggi dari sungai Cideres deet yang berada di sebelah Utaranya. Akhirnya mereka memutuskan untuk mencari sumber air dibukit sebelah Selatan. Hampir seharian penuh mereka mencarinya, menjelang waktu Ashar mereka menemukan rembesan-rembesan air yang keluar  dari rumpun-rumpun  Honje yang terletak di tebing pasir yang agak landai. Setelah dikorek-korek rembesan-rembesan air itu semakin membesar.
“ Air! Air!”  seru mereka kegirangan.
“ Airnya deras sekali,dan jernih .”
“ Cepat bikin pancuran! Biar nanti besok kita buatkan parit-parit untuk aliran airnya.” Perintah sang pimpinan.

Usai sudah pencarian sumber air  dan pembuatan saluran irigasi. Dengan tangan dingin kelima petani prajurit itu lahan pertanian Balaganjar yang tadinya hanya lading, semak-semak dan ilalang telah berubah memjadi pesawahan yang subur, dan orang – orang Babakan Asih juga mulai bercocok tanam di lahan tersebut.

Sumber mata air sampai sekarang masih mengalir deras bahkan di musim kemarau sekalipun. Penduduk  dusun  Dukuh pasir – bagian dari blok Balaganjar sekarang ini – banyak memanfaatkan  mata air tersebut untuk mandi dan cuci selain untuk mengairi sawah mereka. Penduduk Kelurahan Cikasarung menyebut mata air tersebut dengan sebutan Cihanja   mungkin diambil dari kata honje.

Keberhasilan kelima prajurit Mataram  semakin membuat penduduk Babakan Asih menaruh hormat dan kagum pada mereka. Mereka sering diajak berembuk dalam segala hal yang menyangkut kepentingan bersama. Rasa hormat dan kagum penduduk Babakan Asih  diungkapkan dengan pemberian nama – nama kepada kelima prajurit Mataram tersebut seperti : Ki Ganjar sebutan untuk pimpinan kelima prajurit itu,  dan untuk prajurit yang mempunyai sipat cakap dan pintar mereka menyebut  Ki Jaksa, dan untuk prajurit yang mempunyai keahlian bercocok tanam palawija mereka menyebutnya Ki Bogor, untuk prajurit yang ahli dalam pengobatan mereka menyebutnya Aki Dukun, sedangkan prajurit yang ahli bangunan  Ki Putul,  nama tersebut lalu diabadikan oleh warga Kelurahan Cikasarung menjadi sebuah tempat / buyut.

Dengan kedatangan kelima prajurit Mataram tersebut tarap kehidupan penduduk Babakan Asih   ada peningkatan dari sebelumnya, hal itu bisa terlihat dari hasil panen yang melimpah yang dikarenakan semakin luasnya lahan  pertanian yang digarap. Mereka selalu bisa menyimpan hasil panen tiap musimnya, sisa dari pemenuhan kebutuhan sehari – hari.

Untuk memenuhi kebutuhan mereka menjual hasil pertaniannya ke pasar  yang letaknya kurang lebih 15 Km  di wilayah Kadipaten sekarang ini dengan  cara dipikul melewati hutan belantara. Mereka pergi kepasar setiap seminggu sekali di hari yang biasa mereka sebut sebagai poe pasar. Dan dari pasar ini pula mereka mendapatkan informasi keadaan di luar Babakan tempat tinggal mereka.
Suatu hari bada isya ,sesepuh mengundang kelima prajurit Mataram kerumahnya. 
“ Ada apa Ki? sepertinya penting sekali Aki mengundang kami malam-malam begini.” Tanya Ki Ganjar.
“ Ki Ganjar saya mendengar berita dari tukang kain di pasar bahwa Belanda telah mengetahui rencana Sultan untuk menyerang Batavia dan merekapun telah mengetahui strategi Sultan yang mengirim prajuritnya untuk membuka lahan pertanian, sekarang ini mereka sedang mencari para prajurit yang menyamar jadi petani. Mereka telah banyak menangkapi dan membakar lumbung-lumbung padi di sekitar pesisir pantai Utara Jawa. Saya khawatir keberadaan kalian berlima diketahui oleh mereka, karena itu sebaiknya kalian bersembunyi atau pergi dari Babakan ini.” Jawab Sesepuh menjelaskan maksud mengapa dia mengundang kelima prajurit itu secara diam-diam.
“ Kenapa kami harus pergi Ki, bukankah jika tentara Belanda datang kami bisa mengaku sebagai orang Babakan ini ?” Tanya Ki Ganjar lagi.
“ Penduduk Babakan Asih sedikit, jadi kalau ada orang asing di sini mudah dikenali, lagi pula logat bicara kalian beda sekali dengan kami, sepintas saja orang bisa mengenali bahwa kalian dari Jawa.”
“ Tapi tidak mungkin kan kalau kami  saat ini  harus kembali ke Mataram tugas kami belum selesai.” Ucap Ki  Ganjar.
“ Saya tidak mengusulkan kalian untuk kembali ke Mataram tapi untuk bersembunyi sampai keadaan benar-benar aman.”
“ Bagaimana ini saudara-saudara ?” Tanya Ki ganjar kepada ke empat temannya.
“ Sebagai prajurit Mataram rasanya tidak pantas kita lari atau bersembunyi dari musuh, bukankah kita juga berbekal senjata?”Jawab Ki Putul.
“ Saya sependapat dengan Ki Putul, kita lawan mereka ! biar harus meregang nyawa Kita mati dalam keadaan terhormat. Kita ini sejatinya adalah seorang prajurit ingat itu ! Kita bukan hanya petani Kita prajurit!” Ki Bogor menimpali dengan berapi-api.
“  Saya rasa itu kurang tepat.” Sanggah Ki Jaksa.
“ Mengapa?!” Tanya  Ki Putul dan Ki Bogor hampir berbarengan.
“ Berikan kami alasannya!” Pinta Ki Bogor dengan nada bicara yang sedikit emosional.
“ Karena jika kita melawan, orang-orang Babakan asih akan kena getahnya.” Ujar Ki Jaksa dengan nada yang datar tanpa ekspresi.
“ Ya benar, kita tidak mungkin melibatkan apalagi mengorbankan mereka semua. Mereka petani asli tidak seperti kita.”  Ki Dukun menambahkan.
“ Lagi pula kita kalah dalam hal kelengkapan senjata  dan jumlah prajurit juga kemampuan bertempur, pasti kita kalah total. Keberanian harus tetap ada, tetapi harus memakai akal jangan sampai kita mati konyol.”
“ Apa?! Ki Jaksa menganggap bahwa mati sebagai prajurit di medan perang sebagai sebuah tindakan konyol?” jelas sekali terlihat kekesalan dalam raut muka  Ki Bogor.
“ Bukan begitu maksud saya Ki…”
“ Lalu apa?”  potongnya cepat.
“ Sudah , sudah, yang harus kita utamakan sekarang adalah keselamatan penduduk Babakan Asih, sekaligus  tugas kita juga bisa dijalankan. Lagi pula Sultan menugaskan kita bukan untuk berperang tapi menyiapakan lumbung-lumbung padi untuk logistik pasukan di saat nanti menyerang ke Batavia.” Sela Ki Ganjar menengahi.
“ Tapi Ki Ganjar, Belanda sudah mengetahui hal tersebut.” Ujar Sesepuh mengingatkan.
“ Kita harus mencari jalan keluarnya.” Ucap Ki Ganjar. Semua orang terdiam, termenung berpikir keras mencari jalan keluar yang terbaik. Suasanapun hening dan tegang desah daun-daun bambu yang diterpa angin malam semakin membuat keadaan mencekam.
“ Begini saja.” Ki Ganjar memecahkan kebekuan .
“ Sultan menugaskan kita dan kita tidak boleh menyimpang dari tugas utama kita sebelum ada perintah lain.”
“ Iya saya tahu tapi maksudnya bagaimana ini?” Tanya sesepuh.
“ Maksud saya begini kami berlima akan pindah dari Balaganjar. Kami akan membuka lahan baru secara sembunyi - sembunyi yang jauh dari pemukiman penduduk., jangan sampai ada seorang penduduk yang mengetahuinya dan kami akan membuka lahan secara berpencar supaya tidak mudah dilacak Belanda.” Ki Ganjar menghentikan ucapanya sedangkan kelima orang lainnya terlihat menganguk-angguk sebagai tanda mengerti dan setuju dengan pendapat Ki Ganjar.
“ Saya memerlukan bantuan Aki.” Sabung Ki Ganjar.
“ Apa yang bisa saya bantu?” balas Ki sesepuh.
“ Besok Kami akan pergi ke bukit sebelah Selatan mudah-mudahan disana di temukan tempat yang cocok.”
“ Lalu apa tugas saya?” Tanya sesepuh.
“ Besok pagi-pagi Aki kumpulkan seluruh penduduk yang ada di Babakan Asih kami akan bilang kepada mereka bahwa kami akan berpamitan dengan begitu semua orang akan mengira bahwa kami telah pulang ke kampung halaman. Setelah itu Aki berpura –pura mengantar kami , kita berjalan berputar agar mereka tidak tahu bahwa tujuan kita adalah bukit di sebelah Selatan.”
“ Ya…ya saya mengerti. “ ucap sesepuh.
“ Jadi jika suatu hari ada Belanda datang kemari mencari orang-orang Mataram tidak akan ada orang yang tahu. Hal ini baik sekali untuk keamanan orang-orang di sini. Bukankah hanya Aki seorang yang tahu bahwa Kami prajurit Mataram?” Tanya KI Ganjar.
“ Saya jamin itu,Ki.” Ucap sesepuh meyakinkan  Ki Ganjar.
“ Dan sekarang, mumpung hari telah malam, tolong KI Putul dan Ki Bogor  bereskan persenjataan perang kita, kalian harus membawanya jauh dari sini untuk disembunyikan kalau perlu dikubur saja biar aman. Sedangkan saya dengan Ki Jaksa dan Ki Dukun akan berkemas barang-barang.”
“ Baik ,Ki” Jawab Ki Putul dan  Ki Bogor
“ Saya rasa pertemuan ini telah selesai, Kami mohon pamit untuk berkemas dan bersiap-siap. “Ki Ganjar pamit kepada sesepuh.

Malam itu juga Ki Ganjar dan teman-temannya sibuk berkemas.Ki putul dan Ki Bogor terlihat menyelinap keluar rumah menuju sebuah bukit di sebelah timur dengam membawa   peralatan perang yang mereka punyai semisal keris, pedang, tameng, panah dan tombak. Mereka mengubur benda-benda tersebut dipuncak bukit sebelah timur Balaganjar.
Esok harinya  setelah berpamitan kepada penduduk Babakan Asih kelima prajurit Mataram ditemani sesepuh Babakan mendaki  bukit di sebelah Selatan Balaganjar. Mereka menelusuri setiap tempat  mencari lahan yang cocok untuk membuka lahan pertanian yang baru. Ternyata bukit itu cukup luas malahan lebih luas dari luas Balaganjar ditambah luas Babakan Asih.
“  Tempat ini cukup subur pepohonannya tumbuh dengan bagus, daerah ini sangat cocok untuk pesawahan.” Ujar Ki Ganjar.
“ Ya, sangat sayang sekali kalau hanya di tanami singkong atau ganyong.” Ki Bogor menambahkan lalu ia berjongkok mengambil segenggam tanah dikepal-kepalnya  dan diciumnya.
“ Tapi untuk dijadikan pesawahan kita  membutuhkan pengairan yang baik.”  Jelas Ki Ganjar.
“ Mudah-mudahan kita menemukan sumber air di sini” Kata Ki Jaksa.
“ Saya yakin di sini ada sumber air yang cukup, karena kesuburan sebuah tanah tidak dapat dipisahkan dari keberadaan sebuah air, mereka adalah sepasang sejoli.”  Ki Bogor menjelaskan sambil berkelakar.
“ Ah…Ki Bogor bisa saja.” Ujar sesepuh menepuk bahu Ki Bogor, mereka berenam terkekeh ringan.
“ Kita sudah menemukan tanah yang cocok, tugas kita sekarang adalah menemukan sumber air.” Ucap Ki Ganjar.

Mereka berenam melanjutkan perjalanan, mereka berjalan terus  kearah Tenggara dari tempat  mereka  berkumpul meneliti tanah. Kurang lebih  setengah jam lamanya pencarian akhirnya mereka menemukan sebuah mata air yang cukup besar.  Air menyembur dari dalam tanah  membentuk kubangan  seluas kira-kira dua belas meter persegi, dari kubangan  tersebut air mengalir menganak sungai kearah barat. Kelima prajurit ditemani sesepuh menelusuri aliran sungai tersebut sambil membersihkan aliran sungai dari semak –semak, sampah dan endapan-endapan lumpur atau gundukan tanah yang menghalangi kelancaran aliran sungai. Terlihat mereka bekerja begitu bersemangat sambil bernyanyi riang sekenanya diselingi dengan gurauan-gurauan,  sampai di suatu tempat aliran air sungai itu terlihat aneh. Semestinya aliran besar mengalir searah dengan sungai lajimnya ke arah Barat, akan tetapi ini malah sebaliknya  Sebagian besar aliran itu berbelok kesebelah Utara dan hanya sebagian kecil yang mengalir  ke arah  Barat, itulah yang merupakan suatu keanehan.
“ Cai kasarung!” seru sesepuh.
“ Heran?”
“ Heran?” Seru kelima prajurit Mataram.
“ Saya baru tahu bahwa di bukit ini ada cai kasarung. Harusnya sungai ini mengalir ke Barat, ini malah belok ke Utara sedangkan air yang mengalir ke Barat justru sedikit ( cai leutik ), Sesepuh  terdengar bergumam ia tak bisa menyembunyikan keheranannya. Ternyata aliran air  tidak terus mengalir ke Utara tapi melingkar ke arah Timur berlawanan dengan aliran  sungai induknya ( cai kasarung ).

Sejak saat itulah sungai itu disebut lebak Cikasarung sedangkan aliran sungai yang berbelok ke kanan lalu melingkar kearah Timur disebut lebak eran –diambil dari kata heran dan aliran sungai yang terus mengalir ke arah Barat disebut lebak cileutik.

Akhirnya Ki Ganjar memutuskan bahwa ia akan membuka pesawahan di tempat pertama kali mereka meneliti tanah sedangkan ia akan menetap di sebrang ( peuntas ) sebelah Utara sawah garapannya tepatnya di puncak bukit sebelah selatan Balaganjar .
Dengan tujuan agar ia dapat memantau kedatangan Belanda bila sewaktu-waktu ke Balaganjar. Di tempat Ki Ganjar membuka pesawahan itulah berdiri balai Kelurahan Cikasarung sekarang ini sedangkan sawah yang di garap di seberangnya disebut sawah peuntas.

Ki Jaksa membuat saung tempat tinggalnya di pinggiran sungai Cikasarung agak ke hulu sebelah Tenggara sawah garapan Ki Ganjar dengan tugas menjaga mata air elak yang menjadi sumber air sungai Cikasarung. Sampai sekarang sawah garapannya itu disebut sawah Jaksa.

Ki Putul berdiam tepat di belokan sungai Cikasarung, Eran dan Cileutuk, ia bertugas mengolah tanah di sebelah selatan aliran sungai yang banyak mengandung keusik (pasir) dan memperbesar saluran air Cileutik agar dapat mengairi tanah merah (beureum) di sekitarnya. Dan sawah garapanya di sebut sawah Keusik dan sawah Beureum.

Sedangkan Ki dukun di tugaskan untuk membuka huma – sawah tadah hujan agak jauh dari aliran sungai yaitu sebelah Barat sawah Peuntas. Di tempat tersebut Ki Dukun  mulai ngabeubeura ( membuka ladang ) itulah terdapat sawah Bebera dan Bebera Kiai sekarang ini. Selain itu ia menemukan sungai kecil yang berhulu di rumpun bambu Tamiang,  maka daerah itu ia namakan Lebak Tamiang. Adapun tempat ia membangun saung tempat tinggalnya disebut leuweung Aki Dukun, tepatnya saung itu didirikan cukup jauh dari ladang pertama yang ia buka sebelumnya.

Lain lagi dengan Ki Bogor ia ditempatkan di ujung Barat Kelurahan Cikasarung  saat ini lebih jauh dari Ki Dukun. Ki Bogor ditugaskan untuk membuka perkebunan di hutan tersebut  seperti kebun Singkong, Talas, Ganyong dan Buah-buahan  disamping berhuma seperti halnya Ki Dukun. Selain itu Ki Bogor pun bertugas untuk menjaga dan memelihara pepohonan seperti Jati, Kihujan, Jengjing, Kihiang dan lain-lainnya yang berada di hutan tersebut.di sebelah Utara, di tempatnya   tinggal ia  menemukan sebuah mata air, Ki Bogor pun membendungnya sehingga  menjadi sebuah sumur disebutlah mata air itu dengan sebutan Sumur Bendung, namun karena latahnya lidah orang-orang saat ini penduduk Cikasarung menyebutnya sumur Bandung dan Ki bogor juga menemukan mata air yang keluar dari semak-semak pohon dadap maka diberi namalah daerah sekitarnya dengan sebutan Cidadap.

Keahlian kelima prajurit mataram itu dalam hal bertani memang sangat mengagumkan sampai sekarang  tempat-tempat tersebut menjadi lahan-lahan pertanian yang produktif di Kelurahan Cikasarung terutama sawah Jaksa, sawah Peuntas, sawah Keusik dan sawah Balaganjar  sedangkan daerah lengkungan sungai Cikasarung dengan sungai Eran menjadi pusat Kelurahan Cikasarung .

Namun akhir dari keberadaan kelima prajurit  Mataram tersebut tidak di ketahui dengan jelas ada yang beranggapan bahwa mereka ngahiang menghilang begitu saja tanpa bekas dikarenakan kesaktian mereka yang sangat tinggi ada juga yang beranggapan bahwa mereka pergi ke Batavia bergabung dengan pasukan Mataram untuk berperang  melawan penjajah Belanda. Untuk menghormati jasa-jasa mereka penduduk terus memelihara peninggalan-peninggalan mereka berupa sawah ,ladang dan kebun dengan cara menggarapnya dengan baik; juga memelihara mata air - mata air dan saluran irigasi yang mereka buat. Umumnya masyarakat pedesaan merekapun membuat patilasan-patilasan  yang di sebut buyut diatas saung-saung tempat kelima prajurit mataram tersebut menetap, seperti : buyut Ganjar, Buyut Jaksa, Buyut Putul, Buyut  Aki Dukun dan Buyut Bogor. Adapun tempat dikuburnya senjata-senjata pusaka mereka disebut Buyut Karamat dan tempat tinggal orang yang di beri tugas untuk menjaganya  setiap ( saban ) matahari tenggelam sampai matahari terbit disebut Buyut Saban.
Begitulah cerita asal mula Kelurahan Cikasarung. Lajimnya sebuah legenda  kebenaran ceritanya sangat sulit dibuktikan.

Berdasarkan data yang valid Kelurahan Cikasarung berdiri pada tahun 1865, hal ini dibuktikan dengan adanya sistem pemerintahan yang jelas yaitu dengan di angkat seseorang untuk menjadi Kepala Desa atau Kuwu. Kuwu pertama Desa Cikasarung adalah Bapak Djajasoem yang memerintah dari tahun 1865-1872. 
Adapun Daftar Nama-nama Kuwu yang pernah memerintah desa Cikasarung sebagai berikut:
1 . Kuwu Pertama Bapak Djajasoem  mulai  tahun 1865 – 1872
2 . Kuwu ke Dua Bapak Arti  mulai tahun1872 – 1887
3 . Kuwu ke Tiga Bapak Marma  mulai tahun 1887 – 1894
4 . Kuwu ke Empat Bapak Rowinten mulai tahun 1894 – 1899
5 . Kuwu ke Lima Bapak  Akmar mulai tahun 1899 – 1903
6 . Kuwu ke Enam Bapak Roeslam mulai tahun 1903 – 1921
7 . Kuwu ke Tujuh Bapak Rostinah mulai tahun 1921 – 1928
8 . Kuwu ke Delapan Bapak Ambia Sastrawidjaja mulai tahun 1928 – 1947
9 . Kuwu ke Sembilan Bapak Soetisna mulai tahun 1947 – 1964
10. Kuwu ke Sepuluh Bapak Soetedja  mulai tahun 1964 – 1966
11. Kuwu ke Sebelas Bapak Moh. E. Ma’soem mulai  tahun 1966 – 1981.

Sedangkan mulai  bulan April 1981 Desa Cikasarung resmi berubah menjadi Kelurahan Cikasarung dengan Lurah yang pernah memerintah sebagai berikut:
1 . Lurah Pertama Bapak Moh. E. Ma’soem mulai tahun 1981 – 1984
2 . Lurah ke Dua Bapak  T. Salim  mulai tahun 1984 -1988
3 . Lurah ke Tiga Bapak Drs. Toto Dirtanata mulai  tahun 1988 – 1995
4 . Lurah ke Empat  Bapak Yusanto Wibowo  mulai tahun 1995 – 2000
5 . Lurah ke Lima Bapak  Dadang Iskandar mulai tahun 2000 - 2001
6 . Lurah ke Enam Bapak Syamsu Ishak Sudirman mulai tahun 2001 – 2007
7 . Lurah ke Tujuh  Bapak Jaja Sujana  mulai  Mei  2007 - 2008
8 . Lurah ke Delapan Bapak Jaja Suja'i, SE mulai 2008 - 2009
9 . Lurah ke Sembilan Bapak Mardiyanto, S.Sos, M.si mulai Januari 2010 - Sekarang

Sekarang ini Kelurahan Cikasarung terdiri dari  tiga lingkungan, enam rukun warga  dimana setiap rukun warganya terdiri dari tiga rukun tetangga. Lingkungan yang pertama Lingkungan Kramat jaya terdiri dari  RW 01 dan RW 02 meliputi wilayah sebagian besar pusat kelurahan; kemudian Lingkungan Gandasari  terdiri dari RW 03 dan RW 04 meliputi wilayah sebagian pusat kelurahan ,dusun Sinten dan dusun Suka Asih; yang terakhir Lingkungan Ganjar Asih terdiri dari RW 05 dan RW 06 meliputi wilayah Dusun Dukuh Pasir, Dusun Babakan Asih dan Dusun Balaganjar.

Maka berdasarkan Legenda di atas nama Cikasarung diambil dari dua kata cai dan  kasarung. Cai artinya air bisa juga sungai ,kasarung artinya nyasar atau tersesat jadi Cikasarung berarti aliran air sungai yang nyasar.










 

Sample text

Sample Text